Don Paulson/SuperStock/Corbis
“Mereka memanfaatkan manusia untuk mendapatkan garam,” kata John Ascher, entomolog yang pertama kali menemukan spesimen dari spesies itu di tahun 2010 lalu saat tengah berjalan-jalan di Prospect Park, Brooklyn, dekat tempat tinggalnya. “Mereka mendarat di tangan Anda lalu menghisap keringat,” ucapnya.
Amerika Utara merupakan rumah bagi ribuan spesies lebah lokal. Lebah madu impor jauh lebih sering mendapatkan perhatian dibanding lebah lokal. Cukup wajar mengingat madu dan sarang lebah sangat tinggi nilainya, sejak zaman Firaun sampai era pertanian komersial saat ini. Namun, kini lebah lokal Amerika Utara mulai merebut perhatian.
Setelah mempelajari katalog digital di American Museum of Natural History yang mencantumkan 700 ribu spesies lebah, Ascher tak berhasil menemukan posisi yang tepat bagi lebah kota berwarna biru kehijauan itu di kerajaan serangga. Akhirnya, lewat uji DNA yang dilakukan oleh Jason Gibss, peneliti dari Cornell University, mereka berhasil mengidentifikasikan lebah tersebut dan diberi nama Lasioglossum gotham.
Lebah keringat lokal seperti ini memang tidak populer di luar kalangan akademisi. Tidak seperti lebah madu yang awalnya diimpor dari Eropa, lebah lokal tidak banyak membuat madu. Meski begitu, lebah keringat jarang menyengat. Tingkat kekuatan sengatan mereka, dalam skala Schmidt Sting Pain Index tercatat berada di posisi terendah yakni di skala satu (maksimum skala empat) pada daftar tersebut.
Lebah ini juga lebih suka pada orang yang berkeringat karena makanan manusia umumnya cukup asin sehingga peluh mereka mengandung banyak nutrisi penting yang mereka butuhkan. Tetapi, sebagian besar orang tidak akan menyadari saat seekor lebah kecil sebenarnya tengah mendarat di lengan atau kaki mereka.
Dari data terakhir, setidaknya ada 250 spesies lebah lokal yang diketahui bersarang di trotoar kota New York, rambu lalu-lintas, taman-taman, dan pot bunga di balkon atas. Menurut para entomolog, jumlah ini kemungkinan lebih besar dibandingkan dengan jumlah spesies lebah yang tinggal di kota-kota utama lain di seluruh dunia. “Bagi spesies tertentu, kota besar sama bagusnya dengan kawasan alami,” kata Ascher.