“Papua itu permainannya Barat. Salah seorang professor sejarah asal Belanda yang menjadi kepanjangan tangan Pemerintah Belanda pernah mengatakan bahwa Pepera adalah kebohongan. Padahal, Pepera itu ditandatangi oleh Belanda, Amerika Serikat (AS) dan Indonesia dan dinyatakan sah. Itu artinya yang berkehendak mengacaukan Papua itu adalah Belanda, “ jelas Mulyo Wibisono ketika dihubungi itoday, Kamis (12/4),
Dengan tidak diakuinya Pepera, maka Papua secara hukum tidak masuk ke wilayah NKRI, dan Belanda bisa bermain di Bumi cendrawasih tersebut. AS dan dunia barat berkehendak menguasai Papua, dan tidak ingin Papua lepas dari tangan mereka.
“Mereka ini akan menganggu sampai Indonesia tidak bisa mengendalikan Papua, “ ungkapnya.
Walau tidak mau menyebutkan siapa pelaku penembakan pesawat Trigana, pengamat intelijen ini meyakini, ada asing di belakang setiap peristiwa di Papua.
“Papua dari dulu yang bermain Australia, Belanda dan AS. Sejak kekalahan Belanda dari Jepang, ada kerjasama, Inggris, Belanda, AS dan Australia. Mereka satu tim, “ ungkap Mulyo.
“Waktu Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng NICA dalam peristiwa Agresi Belanda I, yang bantu juga Australia, “ sambungnya.
Dari data sejarah tersebut, pengamat intelijen ini berpendapat, sampai sekarang Australia bersekutu untuk memperebutkan Papua.
“Papua barat dan timur dikuasai mereka (Asing). Bagian timur Papua dikuasai Australia, dan bagian barat dikuasai negara lain. Ini kesepakatan sejak lama, semacam buku putih dan belum diubah hingga sekarang, “ jelasnya.
AS pun tak lepas dari sorotan pengamat intelijen ini. Menurutnya, sikap AS yang belakangan mendukung Papua tetap bergabung dengan NKRI hanyalah permainan di dua kaki Paman Sam.
“Sewaktu saya bertugas di perbatasan Moro, senjata Moro itu dipasok dari Amerika, begitu pula AS memasok senjata ke pemerintah Filipina. Khusus untuk Indonesia, kalau sudah terjadi konflik di Papua, maka AS akan mudah mengendalikan pemerintah Indonesia, “ paparnya.
Banyaknya penyusupan agen asing di Papua, menurut Mulyo tidak terlepas dari lemahnya kinerja intelijen Indonesia, sehingga tidak mampu membuat analisis perkiraan dan keadaan yang tajam. Hal tersebut dipicu juga dengan kualitas SDM intelijen yang ada sekarang, sehingga memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menunjuk polisi sebagai kepala intelijen.
“Intelijen itu mencari informasi, bukan menangkap orang. Kalau sudah menangkap itu kerjaan polisi. Intelijen itu kegiataan untuk mengawasi yang membahayakan negara atau tidak, “ pungkasnya.*