Dia melihat seorang ibu muda yang berdoa. Lalu dia mencoba berbicara padanya. Lorong-lorong ke dalam rumah itu sungguh gelap dan berliku. Dan di setiap titik, Darto, sang sineas menemukan berbagai sosok dan peristiwa yang misterius, tapi tetap membangun keinginantahu Darto dan juga penonton. Siapakah sosok-sosok yang ditemuinya; apa yang terjadi dengan keluarga Tionghoa yang menempati rumah itu?
Film pendek berjuduk Rumah Babi karya Alim Sudio ini adalah salah satu dari enam karya finalis Fantastic Indonesian Short Film Festival (FISFiC) , sebuah kompetisi yang pertamakali diadakan oleh sutradara Joko Anwar, Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel, Gareth Evans, produser Sheila Timothy, pengamat film Ekky Imanjaya dan pendiri dan INAFF(International Fantanstic Film Festival) Rusly Eddy.
Film ini mendapatkan penghargaan khusus Special Mention, karena topiknya yang unik yang jarang disentuh oleh kebanyakan film horor dan thriller, yakni: kekerasan yang terjadi pada keluara Tionghoa, setting peternakan babi dan kelebatan arwah mereka yang sudah berpulang. Tapi bukan hanya karena tema dan setting yang unik saja yang mampu merenggut perhatian penonton. Aktor pemeran Darto menampilkan seni peran yang pas dan meyakinkan sebagai seorang sineas dokumenter yang penuh dengan keinginan tahu. Suasana kelam dan warna darah yang meliputi seluruh film sesekali tetap mengirim sekilas sentuhan humor gaya
Selain film pendek Rumah Babi, tentu saja yang menarik perhatian kita pada omnibus film-film ini –yang sudah dijadikan ya DVD—adalah pemenangnya yakni Taksi yang disutradarai oleh Arianjie AZ. Finalis lainnya adalah: Effect karya Adriano Rudiman; Mealtime karya Ian Salim; Rengasdengklok karya Dion Widhi Putra; Reckoning karya Zavero G. Idris.
Ide untuk mengadakan kompetisi ini bermula dari kegelisahan pelaku film seperti Joko Anwar dan Ekk Imanjaya yang merasa genre horor dan fantasi selalu dinomor-duakan. “Nama genre horor, fantasi dan laga selama ini dianggap sepele karena beberapa tahun terakhir memang banyak film horor yang dibuat sembarangan,” kata Joko Anwar. Dia merasa seharusnya penonton jangan menyalahkan genre, tetapi harus memperhatikan isinya. Karena itu, Agustus tahun silam, Ekky menyambut kegelisahan itu dengan menyodorkan ide pada Joko Anwar dan Timo Tjahjanto: membuat sebuah kompetisi pembuatan film pendek bergenre horor dan fantasi. Ide itu disambut produser LifeLikePictures Sheila Timothy. Para sutradara film lain seperti Mo Brothers (Timo dan Kimo), Gareth Evans dan Ketua Festival INAFF bergabung, juga Ronny P Tjandra dari Jive Collection yang bekerja sama untuk langsung meraup karya finalis itu ke dalam bentuk keping DVD. “Semula namanya macem-macem, seru-seru, seperti Flesh Blood atau Young Blood,” kata Ekky Imanjaya.Akhirnya mereka sepakat menyebut proyek itu sebagai Fantastic Indonesian Short Film Festival yang kemudian diringkas menjadi FISFIC.
Visinya adalah mencari bakat muda yang tertarik membuat film pendek genre fantasi, horor, thriller atau laga (sesuai dengan genre festival INAFF). “Kami mendapatkan sekitar 400 sinopsis,” kata Sheila. Selain sinopsis, para peserta harus mengirim portfolio tim yang akan mereka ajukan yang terdiri dari sutradara, penulis skenario dan produser. Dari 400 sinopsis itu, mereka memilih 28 sinopsis dari 25 tim, “karena ada tiga tim yang mengajukan dua sinopsis yang terpilih,” kata Ekky. Tim terpilih itu kemudian mengikui lokakarya selama dua hari tentang penulisan skenario film, pembuatan film dan produksi.
“Setelah itu, seminggu kemudian, mereka harus presentasi bagaimana tim masing-masing merencanakan visual film, skenario dan anggaran,” kata Sheila. Dan dari 25 tim itu terpilih enam finalis tadi. Dan pemenangnya, Taksi karya sutradara Arianjie AZ dan penulis skenario Nadia Yuliani ini akan menjadi bagian omnibus beberapa film pendek yang disutradarai Joko Anwar, Gareth Evans, Mo Brothers yang diproduksi LifeLike Pictures tahun depan.
Tentu saja ini sebuah kesempatan luarbiasa bagi sutradara pemula seperti Arianjie. Bukan saja karena dia akan belajar dan bekerja sama dengan para sutradara yang sudah berkibar-kibar namanya, tetapi penonton dan pengamat film juga akan menyorot Omnibus ini dengan penuh perhatian (dan harapan setinggi langit).
Film pendek Taksi membuka sebuah malam di ujung kota tua. Seorang perempuan muda bernama Fina (Shareefa Daanish) tengah berjalan sembari menunggu taksi. Sebuah taksi meluncur dengan supir yang terlampau banyak nyengir dan licin bak minyak goreng jelantah yang seolah siap melahap sang gadis sintal. Apa boleh buat, malam sudah merayap menuju dini hari. Fina masuk ke dalam taksi dan duduk mepet di pojok belakang, duduk sesantun mungkin. Namun sang supir (yang diperankan oleh Hendra Louis dengan baik sekali) merepet tak henti-henti. Ini tipe supir taksi yang ingin kita tabok agar dia berhenti ngoceh, tapi jeri karena hari sudah malam betul. Penonton sudah tegang karena terlihat supir yang cunihin itu sungguh berbahaya bagi sang gadis manis sintal itu. Tetapi sutradara belum puas menyiksa kita. Datang pula gangguan dari para pemabuk yang seenaknya ikut nyemplung ke dalam taksi. Apa yang terjadi selanjutnya itu kemudian menjadi kekuatan sutradara dan penulis skenario, karena daya kejut adalah mahkota dari film-film thriller.
Tentu saja bukan hanya film Taksi dan Rumah Babi yang layak diperhatikan. Film pendek Effect karya Adriano Rudiman juga menarik. Kisah ini menceritakan seorang karyawan perusahaan swasta bernama Eva yang kesempatan promosinya terjungkal oleh kawannya sendiri. Soal jungkal-menjungkal, angka-angka misterius dan ketinggian sebuah gedung kantor adalah permainan yang ditata dengan cerdas oleh penulis skenario Leila Safira .
Seperti halnya ‘penyakit’ omnibus yang lazim: daya tarik dan eksekusi segmen film tak selalu merata. Mungkin karena setiap sutradara memiliki ritme dan selera yang berbeda. Mungkin pula karena tak semua cerita bagus bisa dieksekusi dengan baik oleh sang sutradara. Bahkan omnibus yang dikerjakan secara keroyokan oleh para sutradara profesional Indonesia (maupun Hollywood), pasti mengandung segmen yang lemah. Itu sebuah risiko yang pasti sudah difahami para produser dan sineas.
Namun karena ini adalah sebuah keinginan baik untuk memperbaiki nama baik genre horor, thriller dan laga sekaligus mencari bibit baru perfilman Indonesia—bukankah seniman senior tak selalu akan hidup di dunia yang fana ini—maka proyek seperti ini selalu harus didukung dan disambut dengan pelukan sukacita. Bibit baru bernama Arianjie AZ dan Nadia Yuliani itu sudah ditemukan. Marilah kita menanti hasil karya mereka yang akan saling berestafet dengan karay sutradara Joko Anwar, Mo Brothers dan Gareth Evans dalam sebuah kesatuan. Tahun depan.
FISFIC 6 Volume 1 Short Films Omnibus
Sutradara : Ian Salim (Mealtime), Arianjie AZ dan Nadia Yuliani (Taksi), Zavero G. Idris (Reckoning), Dion Widhi Putra (Rengasdengklok), Adriano Rudiman (Effect), Alim Sudio (Rumah Babi)
Skenario : Ian Salim dan Elvira Kusno (Mealtime), Arianjie AZ dan Nadia Yuliani (Taksi), Zavero G.Idris dan Katharina Vassar (Reckoning), Yonathan Lim (Rengasdengklok), Adriano Rudiman dan Leila Safira (Effect), Harry Setiawan (Rumah Babi)
Produksi : Lifelike Pictures
Sutradara : Ian Salim (Mealtime), Arianjie AZ dan Nadia Yuliani (Taksi), Zavero G. Idris (Reckoning), Dion Widhi Putra (Rengasdengklok), Adriano Rudiman (Effect), Alim Sudio (Rumah Babi)
Skenario : Ian Salim dan Elvira Kusno (Mealtime), Arianjie AZ dan Nadia Yuliani (Taksi), Zavero G.Idris dan Katharina Vassar (Reckoning), Yonathan Lim (Rengasdengklok), Adriano Rudiman dan Leila Safira (Effect), Harry Setiawan (Rumah Babi)
Produksi : Lifelike Pictures