Ini yang perlu kita ketahui agar kita maklum dan mendukung gerakan buruh dalam mempertahankan haknya dan lebih daripada itu mempertahankan hidupnya. Mohon disimak.
Sumber permasalahan aksi masal Buruh Bekasi adalah keputusan Pengadilan Tata usaha Niaga (PTUN) Bandung yang memenangkan gugatan UPK Bekasi tahun 2012 yang diajukan DPK Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bekasi.
UMK Bekasi tahun 2012 sebetulnya lahir dari hasil rekomendasi Dewan Pengupahan Kab Bekasi yang dalam proses dan mekanisme pembahasannya telah melibatkan organisasi pengusaha (Apindo Bekasi).
DPK Apindo Kab Bekasi memang melakukan aksi walkout di saat terakhir perundingan dan akhirnya Dewan Pengupahan Kabupaten melalui mekanisme voting tetap menyepakati angka UMK Bekasi.
"Buruh tidak puas terhadap UMK angka tersebut. Karena angka buruh di kisaran Rp2.247.000, sementara yang disepakati hanya sekitar Rp1.491.866. Walau jauh dari harapan, namun buruh terpaksa menerima angka tersebut karena menghormati mekanisme yang ada dan kesepakatan yang disepakati bersama.
Rekomendasi UMK Kab Bekasi pun lolos tanpa cacat sekaligus ditandatangani dan disahkan dalam rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jabar yang didalamnya terdiri dari unsur Serikat Pekerja, Pemerintah, termasuk DPP Apindo Provinsi Jabar. Semua perwakilan tersebut, termasuk DPP Apindo Jabar, menandatangani surat rekomendasi yang akhirnya disahkan dalam bentuk SK Gubernur
Dalam perkembangannya, DPK Apindo Bekasi kemudian melayangkan gugatan ke PTUN Bandung untuk mencabut SK Gubernur mengenai UMK Kab Bekasi tersebut. Langkah pengusaha pun ditanggapi dengan ancaman buruh yang akan menggelar aksi demonstrasi pada 16 hingga 19 Januari 2012.
Aksi itu urung dilakukan setelah DPP Apindo Kabupaten Bekasi dengan Serikat Pekerja menyepakati beberapa poin dari pertemuan di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Dalam kesepakatannya, DPP Apindo berjanji akan mencabut gugatannya di PTUN Bandung pada Kamis, 19 Januari 2012. Serikat Pekerja sepakat membatalkan rencana aksi demonstrasi tersebut.
Disinilah persoalan kembali muncul. DPK Apindo Bekasi ternyata tak kunjung mencabut gugatannya di PTUN Bandung hingga waktu yang disepakati akan tetapi melanjutkan sidang gugatannya. Para buruh menilai, kuasa penggugat tidak menunjukan itikad baik.
Sampai pada Kamis, 26 Januari 2012, sidang PTUN Bandung pun membacakan putusan yang memenangkan gugatan DPK Apindo Bekasi. Majelis Hakim memerintahkan agar Gubernur Jabar merevisi SK UMK Tahun 2012.
Menanggapi pendudukan jalan tol oleh buruh di Bekasi ini, kalangan pengusaha angkat bicara soal masalah tersebut. Salah satu anggota Apindo yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Industri Alas Kaki Indonesia (Aprisindo), Binsar Marpaung, menilai perundingan penetapan UMK seharusnya terjadi secara tripartit.
Committee of Manpower, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Mulyadi Djaya, menambahkan, permasalahan demo masal buruh sebenarnya tak ada kaitannya dengan kemenangan gugatan di Pengadilan Tinggi Usaha Negara Bandung. Mereka menilai permasalahan muncul karena adanya pengingkaran penerbitan Surat Keputusan (SK).
"SK Gubernur saya lihat juga karena hasil dari sebelum adanya perundingan-perundingan, ada penyimpangan. Hasil perundingan dan keputusannya lain, sehingga Gubernur harus turun tangan," kata Mulyadi.
UMK Bekasi tahun 2012 sebetulnya lahir dari hasil rekomendasi Dewan Pengupahan Kab Bekasi yang dalam proses dan mekanisme pembahasannya telah melibatkan organisasi pengusaha (Apindo Bekasi).
DPK Apindo Kab Bekasi memang melakukan aksi walkout di saat terakhir perundingan dan akhirnya Dewan Pengupahan Kabupaten melalui mekanisme voting tetap menyepakati angka UMK Bekasi.
"Buruh tidak puas terhadap UMK angka tersebut. Karena angka buruh di kisaran Rp2.247.000, sementara yang disepakati hanya sekitar Rp1.491.866. Walau jauh dari harapan, namun buruh terpaksa menerima angka tersebut karena menghormati mekanisme yang ada dan kesepakatan yang disepakati bersama.
Rekomendasi UMK Kab Bekasi pun lolos tanpa cacat sekaligus ditandatangani dan disahkan dalam rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jabar yang didalamnya terdiri dari unsur Serikat Pekerja, Pemerintah, termasuk DPP Apindo Provinsi Jabar. Semua perwakilan tersebut, termasuk DPP Apindo Jabar, menandatangani surat rekomendasi yang akhirnya disahkan dalam bentuk SK Gubernur
Dalam perkembangannya, DPK Apindo Bekasi kemudian melayangkan gugatan ke PTUN Bandung untuk mencabut SK Gubernur mengenai UMK Kab Bekasi tersebut. Langkah pengusaha pun ditanggapi dengan ancaman buruh yang akan menggelar aksi demonstrasi pada 16 hingga 19 Januari 2012.
Aksi itu urung dilakukan setelah DPP Apindo Kabupaten Bekasi dengan Serikat Pekerja menyepakati beberapa poin dari pertemuan di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Dalam kesepakatannya, DPP Apindo berjanji akan mencabut gugatannya di PTUN Bandung pada Kamis, 19 Januari 2012. Serikat Pekerja sepakat membatalkan rencana aksi demonstrasi tersebut.
Disinilah persoalan kembali muncul. DPK Apindo Bekasi ternyata tak kunjung mencabut gugatannya di PTUN Bandung hingga waktu yang disepakati akan tetapi melanjutkan sidang gugatannya. Para buruh menilai, kuasa penggugat tidak menunjukan itikad baik.
Sampai pada Kamis, 26 Januari 2012, sidang PTUN Bandung pun membacakan putusan yang memenangkan gugatan DPK Apindo Bekasi. Majelis Hakim memerintahkan agar Gubernur Jabar merevisi SK UMK Tahun 2012.
Menanggapi pendudukan jalan tol oleh buruh di Bekasi ini, kalangan pengusaha angkat bicara soal masalah tersebut. Salah satu anggota Apindo yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Industri Alas Kaki Indonesia (Aprisindo), Binsar Marpaung, menilai perundingan penetapan UMK seharusnya terjadi secara tripartit.
Committee of Manpower, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Mulyadi Djaya, menambahkan, permasalahan demo masal buruh sebenarnya tak ada kaitannya dengan kemenangan gugatan di Pengadilan Tinggi Usaha Negara Bandung. Mereka menilai permasalahan muncul karena adanya pengingkaran penerbitan Surat Keputusan (SK).
"SK Gubernur saya lihat juga karena hasil dari sebelum adanya perundingan-perundingan, ada penyimpangan. Hasil perundingan dan keputusannya lain, sehingga Gubernur harus turun tangan," kata Mulyadi.