SATAM adalah nama batu yang menjadi cinderamata khas Belitung. Satam berasal dari bahasa Cina. Kata “sa” artinya pasir dan “tam” artinya “empedu” .
Satam juga disebut billitonite. Artinya, batu dari Belitung. Nama itu diberikan oleh Ir. N. Wing Easton, seorang berkebangsaan Belanda, pada tahun 1921. Batu hitam ini bagian luarnya berlekuk-lekuk dan tidak rata. Seperti dihiasi ukiran-ukiran. Bagian dalamnya sebaliknya. Rata, halus, dan seperti kaca berwarna hitam.
Pusat kerajinan batu satam terletak di Pangkal Lalang, Tanjung Pandan, Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengrajin di sana mendapatkan batu satam dari para penambang timah.
Batu satam ditemukan di daerah penambangan timah, sekitar 50 meter di bawah permukaan tanah. Pengrajin membeli batu satam dari penambang timah dengan harga beragam. Kalau batunya besar dan bagus, pengrajin membayar sampai jutaan rupiah.
Satam bisa dijual apa adanya atau belum digosok. Bisa juga dijual dalam aneka bentuk. Misalnya, perhiasan, tasbih, dan tongkat komando untuk angkatan bersenjata. Harganya dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Harga batu satam memang mahal karena langka. Menurut pengrajinnya, kalau penambang timah sengaja mencari satam, tidak akan dapat. Tapi, kalau tidak sengaja, justru bisa dapat. Unik juga, ya?!
Batu satam termasuk langka karena hanya ada di beberapa wilayah di dunia. Misalnya, Belitung, Australia, Cekoslowakia, dan lainnya. Konon, batu satam itu batu meteor. Sekitar tujuh ratus ribu tahun lalu, sebuah meteor jatuh ke Bumi. Salah satu pecahannya tertancap di Kelapa Kampit, Belitung. Benarkah cerita itu?
Sebenarnya, menurut para ahli, batu satam termasuk jenis batu tektit. Batu tektit terbentuk dari tabrakan antara meteor dengan batuan di Bumi. Saat menabrak Bumi, meteor melelehkan batuan yang ada di Bumi.
Batuan itu lama-lama membeku dan terbentuk seperti kaca. Batu tektit hanya ditemukan di wilayah-wilayah tertentu yang berhubungan dengan tempat jatuhnya meteor atau benda dari angkasa luar.