Aku juga ingat pada minggu pertama pernikahan kami. Kami tidak berbulan madu seperti layaknya pasangan suami istri yang baru menikah. Sehari setelah menikah, suamiku berangkat ke kantor seperti biasa. Alasannya, urusan kantor sedang sibuk-sibuknya dan tidak bisa ditinggal. Sedangkan aku sudah resmi menjadi 100% Ibu Rumah Tangga.
Meninggalkan karirku adalah sesuatu yang berat bagiku, tapi permintaan suamiku sebelum kami menikah terpaksa aku iyakan. Saat itu anganku dibawanya tinggi. Empat orang anak, sebuah rumah besar dengan halaman luas, mobil, dan uang belanja yang jauh lebih besar dari gajiku. Alasanku untuk terus berkarir seperti menguap begitu saja.
Setiap hari aku menjalankan peranku sebagai istri dengan sempurna. Bangun lebih awal dari suamiku, menyiapkan sarapan dan keperluannya ke kantor. Selalu menjaga kerapihan rumah karena suamiku akan marah-marah kalau melihat rumah kami berantakan. Menyiapkan makan malam sebelum suamiku pulang dari kantor. Hal terakhir yang tidak boleh terlupakan, untuk tampil rapih dan wangi saat menyambut suamiku pulang. Wajahnya akan berubah ketus kalau melihatku dengan daster dan wajah berminyak dan mencium bau keringatku. Dalam minggu pertama, aku sudah hapal dengan ritualku sehari-hari.
Suamiku seringnya pulang jam sembilan malam. Setelah makan malam, biasanya suamiku akan berselonjor di sofa di depan TV. Sedangkan aku menunggu dengan cemas apakah malam ini akan berlalu seperti malam-malam sebelumnya. Jam sebelas..jam dua belas..aku sudah mulai mengantuk. Aku menunggunya di kamar tidur kami, mencoba tetap terjaga.
Tapi selalu gagal, sehingga saat aku terbangun aku sadar aku sudah melewatkan lagi kesempatan ‘malam pertama’ kami yang sudah tertunda selama hampir seminggu. Pada malam keenam, aku berhasil melawan rasa kantuk sampai akhirnya suamiku masuk ke kamar kami. Jam satu malam. Aku ingat suamiku berusaha menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui bahwa aku belum tertidur. Aku sudah berancang-ancang dengan posisi menggoda andalanku. Tapi tanpa menoleh sedikit pun suamiku beranjak ke kamar kerjanya, “Ada tugas kantor yang harus diselesaikan”. Gagal lagi.
Masih juga bisa kuingat bulan pertama pernikahan kami. Aku semakin mengenal watak suamiku. Dia tidak suka perhatianku yang melimpah. Dia seperti tidak ikhlas saat menerima kecupan mesraku mengantar kepergiannya ke kantor. Kalau aku bertanya jam berapa dia akan pulang, jawabannya hanya senyum ketus. Sejak kejadian malam keenam, suamiku pulang lebih larut malam dan tidak menentu.
Kadang-kadang jam sepuluh malam, sering juga sampai tengah malam. Dia juga lebih suka menghabiskan akhir pekan di luar rumah. Beberapa kali dia mengajakku berlibur ke tempat-tempat wisata, menginap di hotel-hotel mewah, makan di restoran-restoran mahal, namun selalu diakhiri dengan malam di ranjang yang dingin. Tidak jarang dia membanjiriku dengan pujian di depan teman-temanku, teman-temannya, dan kerabat famili kami. Tidak sedikit hadiah-hadiah kejutan yang dia belikan untukku. Namun tidak satu pun dari semua itu yang kemudian membawa kami pada malam yang indah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada bulan keenam pernikahan kami, aku dan suamiku bertengkar mulut untuk pertama kalinya. Mungkin wanita lain akan lebih cepat bereaksi ketimbang aku yang terlalu berhati-hati menjaga perasaan suami. Aku timbang-timbang, inilah timing yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku. Enam bulan sudah sangat cukup untuk membuktikan aku istri yang penyabar dan pengertian. Malam itu, persis setengah tahun pernikahan kami.
Aku berusaha bicara seringan mungkin saat kami sedang makan malam. Bahwa tidak terasa sudah enam bulan kami hidup bersama. Bahwa begitu cepat hari berganti hari, bulan berganti bulan. Suamiku hanya mengangguk-angguk sambil terus menikmati makanannya. Tak lagi peduli dengan harga diriku, sekonyong-konyong aku melontarkan pertanyaan yang selama ini mengendap di benakku, “ Apa Mas tidak tertarik untuk berhubungan seks denganku?”.
Seketika itu juga suamiku yang tadinya tidak mengacuhkan arah pembicaraanku, menghujamkan tatapannya yang merendahkan ke wajahku. Tak lagi berselera dengan santapan malam itu, sama sekali tidak berusaha untuk menjawab pertanyaanku, suamiku bangkit berdiri dan seperti tidak jelas dengan apa yang mau dilakukannya. Aku sudah terlanjur mengangkat masalah ini ke permukaan, maka aku bertekad tidak akan membiarkan ketidakjelasan ini terus berlanjut. Kuikuti suamiku yang berusaha menghindar menuju ke kamar kerjanya.
“Apa Mas tidak pernah berpikir bahwa suatu saat aku akan menanyakan hal ini?”
“Apa Mas hanya menganggap aku sebagai Pembantu Rumah Tangga saja, yang hanya berfungsi untuk mengurus rumah, keperluan Mas sehari-hari, tapi tidak lebih dari itu?”
“Apa Mas menikahiku hanya untuk mendapatkan status saja, sebagai seorang suami?”
Tamparan tajam mendarat di pipi kananku. Aku jatuh terduduk, bukan karena kerasnya pukulan barusan, tapi karena energi yang sebelumnya begitu besar tiba-tiba habis tersedot oleh amarahku sendiri. Melihatku sudah tak berdaya, suamiku mengeluarkan serangan balik.
“Lantas kamu maunya apa, hah?”
“Kamu pikir aku gak mampu melayanimu di ranjang, hah?”
“Apa diotakmu yang namanya pernikahan hanya sebatas seks saja, hah?”
Aku hanya bisa terisak-isak tetap duduk di lantai tempat aku terjatuh. Entah setan apa yang merasuki suamiku, saat itu dia menarik aku berdiri. Menyeretku ke kamar tidur kami. Mendorongku jatuh ke ranjang.
“Buka bajumu! Atau perlu aku yang membukakan?!”, gertakan suamiku keras dan mengerikan. Dalam satu gerakan dia sudah menelanjangi dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya bisa terpaku, tidak menentu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku membuka bajuku dan melayani suamiku seperti yang aku inginkan selama ini? Tamparan tadi, gertakan suamiku, dan kemarahanku menahan keinginanku untuk menjalan tugasku sebagai seorang istri yang patuh dan berbakti. “Aku tidak mau melakukannya dengan terpaksa seperti ini”. Malam itu kami tidur di kamar yang berbeda.
Seminggu setelah kejadian itu, amarah kami mulai mereda. Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku tetap menjalankan tugasku mengurus keperluan rumah tangga walaupun dalam diam. Tidak ada sapaan hangat atau kecupan mesra saat suamiku berangkat maupun pulang kerja. Aku menjalani semua itu dengan ketidakyakinan akan masa depan kami. Apakah akan datang saatnya dimana rumah ini tidak hanya dihuni oleh kami berdua? Sampai kapan kami bisa bertahan sebagai suami istri seperti ini? Apakah kami bahagia?
Tepatnya dua minggu setelah pertengkaran kami, suamiku masuk ke kamar tidur lebih awal. Aku baru saja bersiap-siap tidur. Suamiku tidak mematikan lampu kamar seperti biasanya, malahan menyetel lagu lembut dari DVD player di kamar kami. Aku terus mengikuti gerak-geriknya, sampai tiba-tiba ciuman mesra mendarat di pipiku. Diteruskan ke bibirku, ke leherku. Aku ingat aku kaku seperti mayat saat itu, hanya mengikuti kehendak suamiku. ‘Malam pertama’ kami akhirnya terlaksana dengan penuh tanda tanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak malam itu, aku seperti gadis perawan yang sedang jatuh cinta. Aku tersipu-sipu jika bertatapan mata dengan suamiku. Aku semakin perhatian terhadap suamiku, yang ditanggapi acuh tak acuh seperti biasa. Aku gelisah jika suamiku pulang terlambat, dan sama gelisahnya ketika suamiku pulang lebih awal. Aku rela menunggu sambil terkantuk-kantuk di tempat tidur, walaupun seringkali kecewa saat suamiku memilih untuk langsung tidur.
Aku tidak pernah mengharapkan hubungan seks yang liar. Aku perempuan Asia dari keluarga kolot yang selalu diajarkan untuk bersikap pasif di depan suami. Suamiku dengan wataknya yang dingin selalu menjalankan ritual keintiman kami dengan fase-fase yang monoton. Foreplay secukupnya, membiarkan aku mencapai orgasme lebih dulu, kemudian menyudahinya tanpa pernah membiarkan dirinya terpuaskan. Awalnya aku pikir wajar saja.
Tapi setelah berlangsung bulan demi bulan, aku mulai bertanya-tanya kembali. Apakah ini sekedar upaya suamiku agar aku tidak lagi protes? Lalu untuk apa semua ini? Untuk apa menjalani rumah tangga seperti ini? Tidakkah suamiku menginginkan buah hati seperti yang pernah dikatakannya dulu saat melamarku?
Lalu pada malam tahun pertama pernikahan kami, malam yang seharusnya membahagiakan bagi pasangan muda, kami bertengkar untuk yang kedua kalinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak pertengkaran hebat malam itu, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah kami. Malam itu juga aku pergi meninggalkan suamiku. Meninggalkan adat yang mengharuskan istri patuh kepada suami. Meninggalkan harapan-harapanku terkubur di rumah itu. Bagiku sudah tidak jelas lagi gambaran seorang istri yang berbakti.
Sejak saat itu pula, aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku yang sudah lama kosong. Sejak ibuku meninggal lima tahun yang lalu, aku meninggalkan rumah ini kosong dengan meminta bantuan seorang kerabat untuk menengoknya sesekali. Sedangkan aku tinggal di rumah pamanku bersama istrinya dan anak-anak mereka di kota lain dimana aku melanjutkan pendidikanku sampai mendapat gelar sarjana. Di kota ini pula aku berkenalan dengan suamiku, seorang teman dari temanku.
Tampan, berpendidikan baik, berkedudukan tinggi di kantornya, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Usianya 35 tahun saat berkenalan denganku, sedangkan aku baru 25 tahun. Hanya dalam waktu dua bulan, dia sudah mulai menyatakan keseriusannya denganku. Keluarga pamanku sangat mendukung hubunganku dengannya yang terlihat begitu santun di depan mereka.
Sedangkan keluarga suamiku tidak segan-segan langsung meminta persetujuan pamanku sebagai waliku untuk menikahiku dengan anak kesayangan mereka. Saat itu aku tidak menyempatkan diriku bertanya ke dalam hatiku sendiri, apakah aku mau menikahinya karena mencintainya, ataukah hanya karena kelebihan-kelebihannya? Semua berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku pun terlupa menanyakan satu pertanyaan yang paling penting, “Apakah dia mencintaiku?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku masih ingat minggu pertama sejak aku meninggalkan rumah suamiku. Aku hanya tinggal sendirian. Tidak ada yang tahu aku tinggal di sini, bahkan keluarga pamanku. Kepada kerabat yang biasanya datang membersihkan rumah ini kukatakan aku sedang berlibur beberapa minggu. Aku benar-benar mengucilkan diriku sendiri.
Tidak keluar rumah sama sekali. Makan seadanya. Tidak mandi, tidak juga mengganti pakaianku. Kerjaanku hanya meringkuk di tempat tidur, kemudian tertidur beberapa jam, terbangun, kemudian tertidur lagi. Entah apa yang ada dipikiranku. Kadang-kadang aku berpikir tentang betapa bencinya aku pada suamiku, terkadang merasa kasihan terhadapnya. Tapi pernahkah ia merasa kasihan terhadapku?
Aku juga masih bisa ingat minggu-minggu berikutnya dari kehidupan nerakaku. Pikiranku semakin tidak karuan. Aku semakin tidak mengenal waktu. Kapan Senin, kapan Minggu. Kapan pagi, kapan siang. Pernahkah suamiku berusaha menghubungiku? Mencariku ke rumah ini? Patutkah aku meneleponnya? Dimana handphone-ku? Ruang sudah tak jelas juga bagiku.
Apakah suamiku masih peduli denganku? Apakah dia pernah mencintaiku? Apakah aku pernah mencintainya? Kenapa aku merindukannya tapi juga membencinya? Aku menangis, tapi anehnya aku juga tertawa-tawa. Apa yang salah denganku?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah sudah minggu keberapa sejak malam itu, saat aku menyaksikan kejadian yang membawaku ke dalam penderitaan ini. Malam itu, malam tahun pertama pernikahan kami. Aku bermaksud membuat kejutan untuk suamiku di kantornya. Berbekal kue tart buatanku, dengan dandanan sedikit istimewa, aku nekat datang ke kantornya yang mungkin justru akan membuat suamiku jengkel. Aku lihat sekretarisnya, seorang pemuda yang tampan dan seumuran denganku, sedang tidak di mejanya. Mungkin dia sedang di dalam ruangan suamiku untuk mendiskusikan sesuatu. Apakah sebaiknya aku menunggu? Ah, biar saja. Aku kan bermaksud memberikan kejutan.
Tapi kejutan itu ternyata bukan untuk suamiku, melainkan untukku. Di ruangan itu, di hari istimewa itu, aku melihat suamiku dan sekretarisnya yang tampan itu sedang hanyut dalam ciuman yang begitu panas. Apakah aku bermimpi? Suamiku sedang menikmati percintaannya dengan kekasih gelapnya selama ini.
Bukankah ini cuma sekedar cerita murahan di novel-novel yang suka aku baca? Tapi kenapa hal ini bisa terjadi padaku? Suamiku seorang gay. Suamiku lebih mencintai lelaki itu daripada istrinya sendiri, aku. Aku..aku..sudah tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Apakah itu hanya mimpiku saja? Aku berharap itu hanya mimpi saja.
Tapi bukankah aku seharusnya di rumah suamiku saat ini menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Tapi kenapa aku di ruangan sempit dan serba putih ini dengan tangan terikat membalut tubuhku?