Orang Tua, Lingkungan dan Karakter Anak



SEBUAH celetukan dari bibir mungilnya sejenak mampu membekukan pikiranku. Laksana tenaga super yang bisa menghentikan beberapa detik waktu yang bergulir. Saya terperanjat dalam jeda. Rasa ini memantik sebuah hipotesa, untuk lebih menyelami celoteh ringannya. Kala itu dengan riang, ia bilang pada saya, “Kalo lihat TV aku sukanya nonton Dora sama berita.” Saya penasaran, anak berumur 5 tahun kok suka menyimak berita. Ketika saya tanya kenapa, sepupu kecil saya itu bilang, “Karena kalau lihat berita kita jadi tahu di Surabaya sedang ada banjir, kalau ada longsor, kalau ada gunung meletus, kita jadi tahu banyak hal.” Seperti biasa, dia selalu bisa menjelaskan dengan baik sekali.

Namanya Salwa. Sedari dulu saya amati dia mempunyai bahasa verbal yang bagus sekali. Saya pernah merasakan diperdaya oleh bahasanya. Pada suatu hari, Ibunya sedang sibuk. Oleh sebab itu, Salwa saya ajak jalan-jalan. Ketika pulang, kita melewati penjaja CD. Kemudian Salwa bilang, “Kalau sebelum pulang kita belikan CD kartun buat adek, pasti dia seneng.” Saya trenyuh, anak sekecil ini ketika saya ajak seneng-seneng di luar, masih sempat teringat adiknya yang di rumah. Dengan senang hati saya belikan CD itu. Sesampainya di rumah, saya ceritakan pada bapaknya dengan bangga,“Salwa ketika mau pulang inget adiknya. Dia minta dibelikan CD buat adiknya.”

Kemudian bapaknya bilang, “Sebenarnya bukan adiknya yang kepingin tapi dianya saja. Itu modus dia.” “Ah masak?” tanya saya meyakinkan diri. Kemudian saudara saya ikut menimpali, “Kayaknya iya deh, adiknya kan baru 2 tahun, mana ngerti nonton film begituan?” Saat itu saya baru sadar jika sedang dikerjai seorang bocah yang baru berusia 5 tahun. Namun, di satu sisi saya tetap salut. Kebanyakan anak kecil kalau meminta sesuatu dengan merengek atau menangis, tapi Salwa mampu mengambil hati saya dengan bahasa yang smooth. Two thumbs up buat Salwa.


Atas izin Allah di kemudian hari, sedikit demi sedikit rahasia itu tersibak dengan sendirinya, kenapa dia bisa punya bahasa verbal yang bagus. Titik terangnya berawal ketika ada sebuah event di rumah saya. Saat itu adalah hari pernikahan abang saya. Salwa ini suka sekali jadi pusat perhatian. Ia duduk di kursi pengantin, diantara kedua mempelai. Sebenarnya dia duduk di singgasana itu dengan manis, selalu senyum setiap kali di jepret bak foto model, sama sekali tidak mengganggu jalannya acara sehingga oleh keluarga saya dibiarkan saja. Tapi selang beberapa lama kemudian, ia beranjak dari kursi pengantin dan menyusul ke tempat duduk saya. Lalu kemudian ia ditanya, “Kenapa Salwa nggak duduk di kursi pengantin lagi?” Kemudian ia menjawab, “Soalnya kata Ibu, kalau Salwa duduk di kursi pengantin, kasihan Mas Bima dan Mbak Mae (nama kedua mempelainya). Nanti duduknya jadi sempit.”

Sepengamatan saya, rata-rata orang tua kalau menemui kasus di atas, mereka akan bilang dengan nada falsetto. “Eh, jangan duduk di situ! Itu untuk pengantin!” Atau “Anak kecil nggak boleh duduk di situ!” tetapi tidak dengan ibunya Salwa, dia membahasakannya dengan cantik sekali, penuh kasih dan empati. Memang kebetulan ibu Salwa adalah seorang wanita yang full-time ada di rumah. Si cerewet ini sepanjang hari mendapat bahasa interaksi yang baik dari ibunya langsung. Begitu juga dengan ayahnya. Saya amati ayahnya bersedia menjelaskan panjang lebar jika ditanyai suatu hal meskipun itu adalah hal yang sangat sederhana.

Salah satu faktornya lagi, karena di rumahnya Salwa sering bertemu banyak orang. Dari kakek-kakek, bapak-bapak juga tante-tante. Semuanya disapa, semuanya diajak berbicara. Dan kebetulan lawan bicara Salwa adalah orang yang lebih tua, mereka senang disapa Salwa yang menggemaskan sehingga mereka akan menyambut sapaan Salwa dengan bahasa yang santun dan sayang.

Disini saya menemukan benang merahnya. Bahwa karakter, akhlak, kebiasaan bahkan bahasa pada anak-anak itu bisa dibentuk. Dengan mengkondisikan sebaik mungkin atas apa yang terjadi dalam kesehariannya. Semisal Gita Gutawa, dia suka menyanyi. Dia juga piawai sekali menyanyi. Menurut pengakuannya, semenjak kecil, sebelum membuka mata lantunan musik sudah menyambut harinya. Di rumahnya ia sering bertemu banyak musisi. Banyak alat musik yang setiap waktu bisa ia pegang. Dia masuk dalam lingkungan musik. Jadi wajar saja jika dia mahir bermusik.

Dari sini saya mendapat pelajaran berharga, karakter yang baik sebenarnya bisa diikhtiarkan. Tidak harus dengan memaksa. Tetapi mengkondisikan keadaan dengan sebaik mungkin. Bahkan kita membutuhkan lebih dari sekedar teladan. Walau teladan jelas dibutuhkan. We should put more effort untuk menciptakan suatu budaya yang membentuknya. Seperti kebudayaan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Suatu kondisi yang membuat orang rela melakoni suatu hal dengan senang hati dan menganggap hal baik itu adalah suatu kewajaran yang harus dilakukan. Sesuatu itu mampu tertanam dalam bawah sadarnya. Disini kita harus menyetting segala aspek yang ia jalani. Bagaimana aktivitas dan kebiasaan sehari-hari yang biasa dilihatnya, apa yang di dengarnya, siapa saja yang ditemuinya, pastikan semua itu adalah hal yang baik. Sehingga dia menyukai sesuatu itu dengan sendirinya, muncul secara alamiah, bahkan ia lakukan terus menerus sehingga menjadi sebuah karakter.

Jika kita punya azam yang kuat, sebenarnya kita bisa mencetak mereka mau jadi apa saja. Termasuk membentuk mereka agar senang membaca misalnya, suka memberi, hobi menghafal Quran atau apapun itu. Yang berbahaya adalah ketika kita pasrah dengan kondisi yang membentuknya, sehingga yang tercetak adalah karakter yang salah.

*Allah, Bantulah kami untuk menuaikan segala amanah hidup ini.