Lembaga Survei Diingatkan Jaga Kredibilitas dan Independensi di Pilkada DKI


Pilkada DKI Jakarta akan digelar kurang dari 49 hari lagi. Persaingan antara kandidat kian memanas.Tim sukses pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta melakukan berbagai cara untuk memenangkan jagoannya dalam pertarungan di pilkada DKI.

Salah satu cara yang diambil adalah mempengaruhi opini publik dengan menggunakan survei. Sehingga survei yang dihasilkan kehilangan nilai akurasi dan objektivitasnya.

Lembaga-lembaga survei diingatkan untuk tetap menjaga profesionalisme dan independensinya. Sebab, pilkada DKI tidak saja menjadi barometer bagi pemilu 2014 akan datang, tapi juga pertaruhan kredibilitas dan martabat lembaga survei sebagai institusi riset dan ilmiah.

"Kredibilitas lembaga survei ini akan dipertaruhkan di pilkada DKI. Kalau semata-mata hanya menguntungkan kandidat tertentu, tidak beda dengan timses. Tidak kredibel dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujar dosen budaya dan ilmu politik dari Universitas Indonesia (UI), Yon Mahmudi kepada wartawan, Kamis (24/5/2012).

Menurutnya, beberapa survei yang dikeluarkan sejumlah lembaga survei belakangan ini sangat jelas menunjukan adanya perang survei untuk memenangkan kandidat tertentu. Menurut Yon, fenomena tersebut menjadi tidak sehat bagi pendidikan politik masyarakat.

Secara khusus, Yon menyoroti survei yang dikeluarkan sebuah lembaga survei yang menyebutkan tingkat elektabilitas pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebesar 49,8%.

"Kalau saya lihat sekarang ini kecenderungan pilkada ini persaingan sangat ketat. Kemudian juga muncul semacam perang survei di antara para kandidat. Memang kalau lihat situasinya saat ini, posisi saat ini (pasangan Foke-Nara) sebagai incumbent itu masuk akal kalau masih bertahan di posisi pertama, karena resources yang dimiliki. Tapi tingkat elektabilitas turun, tidak sebesar yang disebutkan lembaga itu, 49,8%," ujar Yon.

Alasannya, dia menjelaskan, elektabilitas sebesar itu hanya dapat dicapai ketika kandidat yang bersaing hanya dua. Kalau kemudian yang disurvei adalah 6 pasang kandidat, maka terjadi penyebaran elektabilitas. Masing-masing kandidat mewakili kelompok yang ada di DKI Jakarta, dan memiliki basis masing-masing.

"Apalagi semua pasangan kandidat yang berkompetisi semuanya berkualitas. Harusnya tidak setinggi itu elektabilitas Foke-Nara. Semestinya dikisaran 30 persen lebih sebagaimana survei-survei yang lain, baru diikuti kandidat yang lain. Seperti Jokowi yang mulai rajin, dan Hidayat Nurwahid yang didukung partai yang kuat," imbuhnya.

Hal lain yang disorot dalam survei tersebut, menurut peneliti budaya politik UI ini, kecilnya sample yang diambil untuk mengukur suara warga Jakarta. Sampel responden 440 tidak merepresentasikan keseluruhan warga Jakarta.

"Apalagi dengan jumlah pemilih yang sekitar 7 juta, jumlah kecamatan 44, dan kelurahan lebih dari 250. Kalau sample di bawah 1000, tidak representatif. Harus di atas 1000. Kalau sampel di kisaran di bawah 1000, patut dipertanyakan reputasinya. Karena ini akan mewakili jumlah penduduk DKI," pungkas Yon.

Sebelumnya, survei terbaru dikeluarkan Indo Barometer menyebutkan jika pilkada DKI digelar hari ini, siapa pasangan yang dipilih? Pasangan Foke-Nara meraih 49,8 %. Disusul pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 16,4 %, Alex Noerdin-Nono Sampono (5,7%), Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini (4,5%), Faisal Basri-Biem Benyamin (2,3%), dan Hendardji Supandji-A Riza Patria (0,2%).

Survei itu dilakukan terhadap 440 responden. Pada survei sebelumnya yang dilakukan lembaga lain, menyebutkan pasangan Fauzi Bowo dengan 36,65 %. Disusul Hidayat-Didik 18,47 %, Jokowi-Ahok 17,90 %, Faisal-Biem 4,05 %, Alex-Nono 3,59 %, dan Hendardji-Riza 1,39 %.

Survei ini dilakukan terhadap 1.500 responden di 5 kotamadya DKI Jakarta dan minus Pulau Seribu.

Sedangkan survei Pusat Kajian dan Pembangunan Stategis (Puskaptis) dengan responden 1250 orang, menyebut pasangan Foke-Nara 47,22%, Jokowi-Ahok 15,16%, Hidayat-Didik 10,28%, Faisal-Biem 3,17%, Alex-Nono 2,31%, dan Hendarji-Riza 1,55%.