Ratu Majapahit Dalam Siluet

Tribuana Tungga Dewi, nama itu terus terngiang selagi gunting mungil menyayat lembaran kertas berwarna perak membentuk siluet. Wajahnya hanya tampak samping, dengan kepala menengadah. Matanya tertutup, bibirnya terkatup, rambutnya tergurai dalam vignette bergambar bunga dan ombak. Perempuan dalam ukiran kertas itu bernama Tribuana Tungga Dewi.




Si pengukir kertas, Arita Safitri, sesungguhnya tak mengetahui siapa sosok wajah perempuan dalam karyanya itu. Yang ia ketahui, nama Tribuana Tungga Dewi terus terngiang di pikirannya usai ibadah. Maka tersebutlah karya itu. Setelahnya, Arita baru mencari tahu seluk beluk sosok di balik nama itu.

Jika anda mengunjungi pameran tunggal ukiran kertas `The Exotic Spirit`, karya Arita Safitri, di Rumah Budaya Tembi, Jalan Gandaria 1, no. 47 B, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pandangan pun akan segera mendarat pada karya berwarna perak itu. Pameran ini bisa dikunjungi hingga 24 Januari 2012.

Sosok Tribuana di temani tiga ukiran kerta bergambar wajah perempuan lainnya. Resi, si perempuan bernuansa hijau lumut, Wening yang terlihat syahdu, dan Renjani yang lahir dari inspirasi seorang perempuan berdarah Papua. Dari sekitar 30 karya yang dipamerkan, Arita mendominasinya dengan guntingan motif bergaya tradisional.

Secara otodidak, Arita menyelami mahakarya ini selama dua tahun. Di saat frustasi yang memuncak akibat cidera tangan, Arita yang sesungguhnya adalah seorang pianis pun harus gantung impian selama 15 tahun. Sebuah kecelakaan menciderai tangannya pada tahun 1998 silam, tatkala tengah giat menempuh gelar Master Piano di Freibugh im Breisgau, Jerman.

“Pada sekitar tahun 2000 saya ke Eropa dan melihat seorang Cina menggunting kertas dan membuat pola. Dia tak mau mengajarkannya pada saya hingga akhirnya saya hanya bisa mengamatinya sampai selesai,” kenangnya. Sejak itu, seniman kelahiran 4 Januari 1968 ini kepincut dan mulai berotodidak.

Tanpa menggunakan pola, kertas kado dilipat empat, lalu ia mulai mengurai bentuk vignette mengikuti aliran kemauannya. “Polanya sudah ada di kepala,” katanya. Seperti karya bertajuk Mutiara Borneo yang bermotif Kalimantan. Nama mutiara diambil dari jenis kertas yang disebut kertas kado mutiara, karena memang warnanya mengkilat bak kulit mutiara. Karya inilah yang paling lama pengerjaannya, yakni selama dua bulan. “Karena jenis kertasnya tergolong susah diukir,” katanya.

Lalu meliriklah pada karya berjudul Alas Tinggah. Sebuah motif ukiran yang bernuansa Bali. Karya ini diilhami dari sebuah resital piano dengan komposisi gamelan Bali, dimainkan oleh empat orang dalam dua piano. Di samping Mutiara Borneo, sebuah ukiran bentuk biru bulat terlihat tak bernama. “Entah namanya apa, saya membuat itu terilhami dari judul komposisi Didi AGP, berjudul Neo Spirit Journey,” jelasnya.

Untuk karya termungil, Arita mengukir sebuah motif gunungan (biasa ditemui dalam motif wayang) pada kertas berukuran kurang dari satu sentimeter. Uniknya, Arita tak harus melipat kertas, ia bahkan mengukir Tribuana, Resi, Wening, dan Renjani dengan kertas terbentang.

Ia sadar betul bahwa karyanya sangat langka di Indonesia. Buktinya, sebuah pesanan ekspor dari industri furniture Jepang segera mendarat dengan memesan seratus motif untuk dicetak detil berukuran setengah millimeter di permukaan dagangan mereka. Bahkan, sebuah pembajakan pernah dialaminya melalui Facebook. “Ada orang India yang memamerkan motif tekstilnya sama persis dengan motif yang saya pajang di Facebook saya setelah dia add saya,” ujarnya.

Setelah itu, ia segera mendaftarkan hak cipta semua karya yang dipamerkannya ini. Bahkan, seorang kurator seni asal Amerika, menaksir harga yang fantastis untuk Tribuana Tungga Dewi. “Ia memprediksi karya ini cocok dihargai sebesar US$ 200 juta,” cerita Arita. Namun, seniman yang telah melahirkan 14 komposisi piano itu hanya akan melepas karya tersebut secara non komersil. “Saya akan melepas karya ini untuk charity, seperti membangun sekolah untuk anak tak mampu atau balai pengobatan gratis,” katanya.