Markas besar dengan pegawai kurang lebih 12 ribu ini terletak dekat dengan jantung Silicon Valley. Markas futuristik perusahaan ini nantinya berbentuk cakram dengan pembangkit listrik sendiri yang memuat warisan abadi Steve Jobs, desain apik dengan inti sangat efisien.
Selama bertahun-tahun, perusahaan ini berhasil menarik minat ahli teknologi untuk bergabung dengan perusahaan yang berbasis di Cupertino, Amerika Serikat (AS) ini dengan harapan mampu menguak sedikit rahasia dari perusahaan yang sangat-rahasia ini.
Hanya sedikit orang berhasil masuk ke dalam gedung utama Apple. Sekerumunan penjaga keamanan menyapa mereka yang memasuki gedung ini kemudian mengawal mereka kembali ke trotoar dan terkadang mengarahkan mereka ke arah toko di kampus tempat orang bisa membeli kaus berlogo Apple.
Namun, sebuah buku baru yang dirilis di Inggris pekan ini akhirnya memberikan wawasan non partisan ke dalam kehidupan perusahaan ini sebagai karyawan Apple dan itu tak seperti yang diharapkan kebanyakan orang.
Menurut Inside Apple, Apple merupakan kantor yang tak memiliki jendela, sebuah gedung yang menonjolkan ego dan etos ketakutan dengan nada ‘pemujaan’. “Apple tak membicarakan Apple. Apple membicarakan produk Apple,” kata penulis buku tersebut sekaligus editor majalah Fortune Adam Lashinsky.
Mungkin, untuk alasan yang baik, ilusi mengenai pegawai dengan jiwa bebas sedang duduk-duduk di kursi berbentuk kacang yang sedang bermain gadget terbaru sebelum mereka makan siang gratis akan hancur begitu saja.
Sebaliknya, aturan CEO diktator bertangan menyilang bisa ditemui, kata Lashinsky. Karyawan yang ada tak mengajukan pertanyaan dan mereka meninggalkan ego mereka begitu saja. Hanya ada satu orang yang diizinkan memiliki ego publik dan itu adalah Steve Jobs, katanya.
“Apple merupakan tempat keras untuk kerja. Perusahaan ini memiliki lingkungan kerja yang sangat menuntut. Kantor ini bukan tempat yang menyenangkan seperti Google,” kata Lashinsky.
Apple bukan tempat yang sangat bahagia namun kantor ini melahirkan orang yang bisa bertahan di lingkungan seperti itu, lanjutnya lagi. Karyawan Apple seperti potongan puzzle dan hanya satu orang mengetahui cara menyatukan dengan potongan-potongan itu, yakni seorang CEO yang diperankan Steve Jobs hingga diserahkan pada Tim Cook tahun lalu.
Di tengah kabel, nodul dan desain papan sirkuit, Apple adalah perusahaan yang sangat rahasia, bahkan pekerjanya sendiri tak mengetahui apa yang mereka ciptakan, katanya. Ruang tak berjendela menjadi satu-satunya tempat di mana iPad atau iPhone baru didiskusikan, dan bahkan senior wakil presiden hanya bisa masuk ruang itu untuk mendiskusikan bagiannya saja sebelum diminta pergi, katanya.
Informasi ketat dibatasi pada 100 orang yang dipilih langsung Steve Jobs. Saat membahas hari peluncuran produk, karyawan Apple berkumpul di sekitar televisi di kantin untuk mencari tahu produk baru itu. Mereka akan sama terkejutnya seperti orang lain, kata Lashinsky.
Kerahasiaan berakar di tiap karyawan, kata Lashinsky. Siapa pun yang tertangkap mengungkapkan rahasia Apple baik disengaja atau tidak akan ditangani dengan cepat, PHK dari perusahaan.
Dalam buku itu, seorang karyawan ingat bagaimana ia mendapat mimpi buruk atas ancaman yang dibuat untuk karyawan mengenai pelanggaran kerahasiaan. “Jobs akan berkata, ‘Apa pun yang bocor dari pertemuan ini, tak hanya PHK menanti juga penuntutan penuh yang bisa dilakukan pengacara kami’. Anda harus berhati-hati,” kata karyawan itu pada Lashinsky.
Bahkan, anggota staf yang telah keluar dari perusahaan ini terus mengalami ketakutan akan pembalasan, kata Lashinsky. “Kebrutalan Jobs terkait bawahannya mengesahkan kekerasan, intimidasi, dan tuntutan budaya di Apple. Di bawah Jobs, budaya ketakutan dan intimidasi berakar di seluruh perusahaan,” kata Lashinsky lagi.
Bagi perusahaan yang sangat dihormati atas inovasinya membuat perlakuan kejam Apple pada karyawannya menjadi bagian rumus kesuksesan, papar Lashinsky. “Ini menciptakan etos setia antar staf untuk melindungi produk,” katanya.
Tim Cook pernah berkata, “Ini merupakan bagian keajaiban Apple dan saya tak ingin orang lain mengetahui keajaiban kami karena saya tak ingin ada yang menyalin karya kami.” Terbukti, pekan ini Apple dinobatkan menjadi perusahaan paling berharga di dunia dengan nilai US$415 miliar (Rp3,72 kuantiliun atau Rp3.720 triliun).